Halaman

Kamis, 06 Mei 2010

Penguasa Anti-Korupsi Zaman Islam « MASJID RAYA BAITUL MA'MUR

Semasa Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah, tak satu pun makhluk di negerinya kelaparan. Tak ada pengemis dan tak ada penerima zakat 

Oleh: Nurhadi*

image UMAR bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin dambaan umat. Sifatnya yang adil, jujur, sederhana, dan bijaksana, merupakan khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai ”khalifah kelima” yang bergelar “Amirul Mukminin”, setelah Khulafa ar Rasyidin.
Jika dirunut, Umar bin Abdul Aziz masih mempunyai garis keturunan Umat bin khatab. Khalifah ar Rasyidin yang kedua setelah khalifah Abu Bakar as Sidiq. Dari sini, Rasulullah  pernah bersabda agar dimasukan dua nama Umar sebagai penegak kejayaan Islam, yakni Umar Bin al Khatab dan yang satunya Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada masa dinasti Bani Umayyah di akhir abad pertama Hijriyah. Pada saat itu, dinasti ini sedang mengalami konflik internal para pejabatnya. Gaya kehidupan yang serba mewah, bermegah-megahan, korup, borju, dan hedon. Umar sendiri merupakan bagian dari simbol gaya hidup dinasti Bani Umayyah. Sepeninggal wafatnya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, putra Khalifah Abdul Malik bin Marwah yang juga telah wafat, pihak keluarga kerajaan meminta agar ia menggantikan posisi sebagai Khalifah.
Kekuasaan di Mata Umar
Tak seperti penguasa kebanyakan yang begitu ambisi mengincar kursi kekuasaan, Umar justru menangis ketika tahta itu dianugerahkan kepadanya. Baginya, jabatan bukanlah alat untuk meraup kekayaan, melainkan amanah dan beban yang harus ditunaikan secara benar. Ia sadar bahwa kekuasaan mengandung konsekuensi yang sangat berat, terutama menyangkut bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan sendi-sendi keadilan dalam pemerintahannya di akhirat kelak.
Ketika  Umar diangkat menjadi khalifah dia mengatakan, “Wahai manusia sekalian, barang siapa yang taat kepada Allah sungguh ketaatannya sudah bagus, dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah maka janganlah mentaatinya. Ikutilah saya selagi saya taat kepada Allah. Apabila saya bermaksiat kepada Allah, maka janganlah kalian mentaatiku!”
Dikisahkan pula, semasa Umar menjabat sebagai Khalifah, walaupun hanya 2,5 tahun, rakyat menjadi makmur dan negara menjadi benar-benar surplus. Tak satu pun makhluk di negerinya menderita kelaparan. Tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Penjara tak ada penghuninya, kosong. Bahkan serigala pun enggan mencuri ternak penduduk kota, karena begitu menghormati keadilan Umar.
Inilah adalah langkah-langkah pembaharuan Umar bin Abdul Aziz yang diterapkan di dalam sistem pemerintahannya:
Pertama, ia memulai dari diri sendiri, keluarga, dan istana.
Umar rela beserta seluruh keluarganya hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke Baitulmal (kas negara) begitu selesai ia dilantik, termasuk pakaiannya yang mewah seharga 800 dirham, yang menjadi simbol kemewahan hidup sebelumnya. Berbagai fasilitas negara ditolaknya. Ia memilih tinggal di rumahnya dan menolak hidup di istana. Kehidupannya berubah drastis, dari seorang cinta kemapanan dunia, menjadi orang yang zuhud terhadap dunia.
Selanjutnya, Umar kepada istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, memberikan pilihan, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas Negara, atau kita cerai”.
“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.” Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.
Ketika anak-anaknya menanyakan, mengapa kita tidak lagi menikmati kemewahan sebagaimana kita menikmatinya sebelumnya? Umar justru menangis dan berkata kepada anak-anaknya, “Saya beri kalian makanan yang lezat dan enak tapi kalian rela memasukkan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita masuk surga bersama?”
Setelah berhasil mengajak keluarganya, Umar melangkah ke luar istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang mewah yang ada di istana dan mencabut seluruh fasilitas kemewahan yang ada pada keluarga istana, serta mengembalikannya ke kas Negara. Sebagian mereka protes terhadap kebijakan tersebut. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk mengutus bibinya agar dapat bersikap lembut mencabut kebijakannya.
Umar yang tahu maksud kedatangan bibinya, ia mengambil uang logam lalu dipanaskan dalam bara api. Setelahnya, ia meletakan sekerat daging di atas uang logam yang telah memerah. Umar lalu berkata kepada bibinya
“Apakah bibi rela menyaksikan saya dibakar di neraka seperti daging ini hanya untuk memenuhi kesenangan kalian? Berhentilah merayu saya, sebab saya tidak akan pernah mundur dari jalan pembaharuan ini.”
Adakah pemerintah dan penguasa seperti ini di zaman sekarang?  
Dari sini Umar menunjukan pentingnya bagaimana jujur dalam mengembang amanah kekuasaan. Ia tak melampiaskan nafsu kekuasaannya hanya untuk kesenangan sesaat, mencuri atau melakukan tindak pidana korupsi layaknya kasus-kasus yang sedang disorot masyarakat atas pejabat-pejabat kita hari ini.
Pengelolaan Uang Negara
Umar menunjukkan pada kita, bagaimana harus pemberdayaan zakat atau sedekah yang disimpan di Baitulmal dan dikelola Negara. Ia mulai dari diri sendiri, keluarga, dan pejabat istananya, sekaligus memperlihatkatkan upaya sungguh pembersihan diri dari gaya hidup yang mewah dan korup.
Langkah kedua, kampaye penghematan. Umar melakukan pembaharuan penghematan total dalam penyelenggaraan negara. Sumber pemborosan dalam penyelenggaraan negara, biasanya terdapat pada struktur negara yang gemuk, birokasi yang rumit, dan administrasi semrawut. Umar selalu mengkampanyekan penghematan, terutama gaya hidup para pejabat negaranya. Selanjutnya beliau merampingkan struktur negara dari pejabat yang korup, memangkas birokasi yang rumit, dan menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara tersebut, Umar telah menghemat uang belanja negara menjadi lebih surplus. Pada saat yang sama Umar juga mensosialisasikan semangat berbisnis dan berwirausaha kepada masyarakat.
Langkah selanjutnya, penataan ulang distribusi zakat. Dalam konsep ini, penetapan delapan objek mustahik zakat adalah bentuk subsidi langsung yang diberikan kepada rakyat.
Zakat dinilai akan mampu berdampak terhadap pemberdayaan masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli masyarakat, secara langsung zakat merangsang tumbuhnya permintaan dari masyarakat. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan naik. Jadi pendistribusian zakat yang tepat selain mengurangi kemiskinan juga faktor penentu pertumbuhan di tingkat makro.
Demikian kondisi saat itu jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang. Sehingga wajar jika amil zakat pada waktu itu tidak menemukan orang yang mau menerima zakat.
Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘’Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai orang miskin seorangpun."
Karena begitu makmurnya rakyat waktu itu, negara pun mengalihkan distribusi zakat ini ke pembayaran orang yang dililit utang-utang pribadi. Lagi-lagi kas Negara masih lebih dari cukup dan memerintahnya lagi untuk memberikan biaya-biaya bagi rakyat yang ingin menikah, yang sebenarnya bukan tanggungan dari pemerintah.
Selain itu, kebijakan Umar lainnya membangun dan memperbaiki berbagai layanan publik untuk masyarakat. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui perbaikan lahan dan saluran irigasi. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis. Sarana ibadah seperti masjid diperbanyak dan diperindah. Untuk memuliakan tamu dan para musafir, dibangunlah bebeberapa buah penginapan. Ia juga memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondesi berlangsung lancar.
Begitu kondusifnya kondisi saat itu, kelompok Khawarij dan Syiah yang di era sebelumnya kerap memberontak, berubah menjadi lunak. Di wilayah-wilayah yang ditaklukkan Khalifah Umar juga mengubah kebijakan. Ia mengganti peperangan dengan gerakan dakwah Islam. Pendekatan ini mengundang simpati dari pemeluk agama lain. Secara sadar dan ikhlas banyak raja yang berbondong-bondong memilih Islam sebagai agama terbaik.
Bisakah, kita temukan hari ini, sosok pemimpin pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz yang mengedepankannya tanggung jawab secara penuh. Yang tidak pernah tidur siang karena takut melalaikan hak-hak dari rakyatnya? Mudah-mudahan Allah menghadirkan kepada kita pemimpin sekualitas Umar bin Abdul Aziz. Amin! [Nurhadi, mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIL Hidayatullah Surabaya/

Sumber: hidayatullah.com]


Read More

JAWI Sasar Sifar Gejala Sosial (MStar)

KUALA LUMPUR: Krisis dan kerapuhan institusi keluarga masyarakat Melayu sudah lama berakar umbi. Cumanya, keadaan masyarakat yang tertutup pada masa dahulu menyebabkan tidak banyak kes yang didedahkan kepada umum berbanding kehidupan 'masyarakat tanpa sempadan' hari ini.

Penghijrahan daripada kehidupan kampung ke bandar terutama bandar raya besar seperti Kuala Lumpur untuk kelangsungan hidup turut mendedahkan institusi keluarga kepada kemungkinan dijerut krisis gejala sosial.

Demikian pandangan Pengarah Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan (JAWI), Datuk Che Mat Che Ali dalam wawancara dengan Bernama di pejabatnya di sini baru-baru ini.

"Dari semasa ke semasa dunia akan berubah dan hidup kita juga akan berubah. Untuk itu, kita perlu mempunyai ketahanan jiwa yang kuat.

"Jika tidak, semuanya akan habis dimamah keadaan persekitaran yang banyak membuka ruang kepada kita untuk hanyut dalam arus gelombang yang begitu besar melanda umat kita," kata beliau.

PUNCA GEJALA SOSIAL

Kepincangan institusi keluarga sering dikaitkan sebagai penyumbang utama tercetusnya gejala sosial terutama dalam kalangan anak remaja. Lebih parah apabila ibu bapa bercerai dan anak-anak ketandusan kasih sayang dan perhatian.

Bagaimanapun, menurut Che Mat, kadar kes perceraian di Wilayah Persekutuan masih lagi terkawal dan dijangka menurun kepada sekitar 11-12 peratus tahun ini berbanding 15 peratus pada 2009 dan 18 peratus pada 2008.

Beliau berkata empat faktor dikenal pasti menjadi punca kepada perceraian untuk pasangan di Wilayah Persekutuan.

Pertama, pengetahuan yang agak cetek dalam bidang agama sebelum satu-satu pasangan itu berkahwin. Kedua, faktor ekonomi di mana ada kalanya sesetengah pasangan mempunyai kedudukan yang baik tetapi mengalami kesulitan kewangan kerana tidak bijak menguruskan kewangan.

Ada juga pasangan yang begitu materialistik, sering membandingkan dengan apa yang dimiliki jiran sehingga mempengaruhi kehidupan berkeluarga mereka.

Campur tangan ibu bapa dan pengaruh rakan sebaya ialah faktor yang turut menyumbang kepada perceraian.

Che Mat berkata pasangan yang menghadapi masalah perkahwinan yang kritikal ialah mereka yang berkahwin antara tempoh setahun hingga lima tahun.

"Lima hingga 10 tahun separuh kritikal sementara 15 tahun ke atas kurang kritikal," katanya yang turut menyentuh kes pasangan curang yang kemudian menimbulkan isu anak tak sah taraf (anak di luar nikah).

PERLU KESEDARAN

Memandangkan senario kehidupan masyarakat Islam hari ini begitu dihimpit pelbagai tekanan dan isu gejala sosial, JAWI meningkatkan program dakwahnya.

Ini dilakukan di samping menguatkuasakan undang-undang sedia ada iaitu Undang-undang Kesalahan Jenayah Syariah Akta 559 (seksyen 21, 23, 27, 29) mengenai gejala sosial termasuk berkhalwat, bersekedudukan yang boleh membawa kepada hukuman denda dan sebat jika sabit kesalahan.

Menurut Che Mat, penguatkuasaan undang-undang sahaja tidak mencukupi tanpa adanya kesedaran dan fahaman agama Islam yang betul.

"Jika masyarakat tidak dididik, sesiapa sahaja pantas menodai undang-undang dan menyatakan mereka tidak faham undang-undang di bawah seksyen-seksyen yang ada," jelas Che Mat.

DAKWAH BERHEMAT

Secara keseluruhannya Che Mat melihat program dakwah JAWI lebih menjurus kepada usaha menerapkan tingkah laku yang baik.

Beliau melihat masyarakat hari ini semakin bijak berfikir apabila berdepan dengan pelbagai gejala sosial dan lebih mudah menerima pendekatan dakwah yang dijalankan.

Program dakwah JAWI dibahagi kepada dua iaitu dakwah 'Bil Lisan' dan dakwah 'Bil Hal'.

Menerui program dakwah Bil Lisan, jabatan ini melebarkan jaringan untuk mengajak dan membimbing umat Islam negara ini menghayati ajaran Islam menerusi siri ceramah di radio dan televisyen serta nasihat menerusi media cetak.

Amalan dakwah bil hal juga, kata Che Mat mampu merempuh benteng kehidupan masyarakat Islam hari ini yang semakin liberal dan terbuka.

Menurut beliau, dakwah Bil Hal pula lebih menjurus kepada program 'turun padang' untuk mendekati kumpulan sasar iaitu mereka yang dipinggirkan masyarakat seperti penagih dadah, pelacur, mak nyah, kutu rayau, kutu malam serta mereka yang melakukan penzinaan.

Che Mat berkata menerusi program dakwah ini yang mengambil pendekatan membantu melalui nasihat, ia membuka ruang untuk JAWI berinteraksi dan lebih memahami keperluan kumpulan sasar.

"Saya sendiri turun padang dan menasihatkan penagih dadah. Ia bukan satu kerja mudah tetapi saya akan usahakan habis-habisan.

"Begitu juga dengan kumpulan sasar yang lain, sebagai contoh anak-anak terbiar di beberapa tempat tertentu di sekitar Kuala Lumpur. Kita ada 250 orang yang kita berikan bantuan sosial supaya mereka boleh menyambung kehidupan mereka," tambahnya.

Menurut beliau JAWI menghulurkan bantuan untuk anak-anak itu menerusi Rumah Nur Salam yang terletak di Chow Kit di sini.

"Sekurang-kurangnya kita boleh menghantar mereka ke sekolah dan memberi makan dan pakai meskipun tidak sama seperti mempunyai kehidupan keluarga sendiri.

"Anak-anak ini juga tidak merempat di tepi-tepi jalan atau lorong belakang. Keadaan ini jika kita biarkan sudah tentu akan memalukan kita," katanya.

Bagi mereka yang ditangkap melakukan kesalahan jenayah syariah, Che Mat berkata kumpulan itu tidak sepatutnya dicerca, sebaliknya perlu diberi keinsafan dan kefahaman untuk berubah dan kembali ke pangkal jalan.

TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Di tengah-tengah usaha dakwah JAWI untuk membanteras gejala sosial, Che Mat menghimbau masyarakat kota terutamanya ibu bapa untuk sama-sama memikul tanggung jawab itu.

Satu daripada caranya, jelas beliau dengan nasihat menasihati serta mengamalkan sikap mengambil tahu.

Ibu bapa, tegasnya perlu memberi sedikit keutamaan untuk mengambil tahu tentang tingkah laku dan pergerakan anak-anak ketika mereka keluar ke sekolah atau ke tempat kerja.

"Ketika di kampung dulu, kalau kita bela ayam atau kambing, bila ayam atau kambing tak balik masuk kandang, kita cari seluruh kampung. Begitu juga kalau kita membela kucing.

"Mengapa kita tak transformasikan perasaan itu untuk anak-anak kita? Bila anak-anak tidak balik walau hari dah petang, kita tidak risau seperti kita kehilangan ayam, kucing atau kambing?

"Ini bererti sensitiviti kita tentang menjaga kebajikan anak-anak kita kurang berbanding sensitiviti menjaga haiwan peliharaan.

"Jadi saya tidak hairan jika kenapa hari ini ramai anak-anak yang mengandung luar nikah. Kita kadang kala bukan sahaja letih tetapi begitu kecewa membaca paparan demi paparan mengenai perkara ini," kata Che Mat.

Menurut beliau, nasihat menasihati juga perlu dalam kalangan jiran tetangga tetapi ia semakin diketepikan dalam kehidupan masyarakat hari ini.

"Apa yang berlaku apabila seorang jiran menasihati jirannya supaya jangan berbuat sesuatu yang tidak baik dan jiran yang dinasihati bertindak kasar dan berkata jangan menjaga tepi kain orang.

"Apakah sepatutnya kita mengeluarkan kata-kata seperti itu sedangkan kita berkata kita orang beriman dan dalam Islam nasihat itu ialah senjata bagi orang mukmin?" kata Che Mat.

MENJAGA ADAB

Jika masyarakat Melayu hari ini lebih cenderung kepada amalan "tidak menjaga tepi kain orang", masyarakat Melayu dahulu menurut Che Mat amat mengambil berat akan apa sahaja yang berlaku di sekeliling mereka.

Sikap "menjaga tepi kain orang" ketika itu lebih untuk menjaga kesejahteraan dan keselamatan masyarakat kampung di samping mengelakkan pengaruh sosial termasuk pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan.

"Kita malu untuk berkawan dengan budak perempuan yang bukan keluarga kita dan kita juga malu untuk membawa orang perempuan untuk masuk ke kampung kita.

"Malah kita malu untuk bertandang ke rumah anak dara orang atau mengundang anak dara orang tidur di rumah kita. Ini ialah di antara adab yang kita perlu jaga.

"Sekiranya kita berbuat demikian, kita akan dibelasah orang kampung kerana membawa orang perempuan yang bukan mahram kita. Zaman ini pergaulan begitu bebas dan yang lebih mendukacitakan ada yang sampai sanggup membawa lelaki atau perempuan balik ke rumah sewa. Ada juga yang sampai tinggal serumah," keluh Che Mat selepas berkongsi antara kenangannya membesar di kampungnya di Manir, Kuala Terengganu pada awal 1960-an.

Mungkinkah senario kehidupan yang pernah dilalui Che Mat lebih 40 tahun lalu boleh diterapkan dalam kehidupan hari ini?

Apakah tradisi ambil peduli setiap perkara yang berlaku dalam masyarakat serta sekatan pergaulan bebas lelaki perempuan akan dianggap kolot dan sudah lapuk dek zaman? Ini ialah soalan yang dilontar Pengarah JAWI ini.

"Kekalkan identiti, cara kehidupan kita di kampung dulu dan transformasikannya kepada kehidupan di bandar. Apakah orang akan mencebik dan berkata kita kolot? " soal Che Mat sambil menambah perkara itu satu muhasabah maruah yang boleh diterapkan di mutakhir ini.

GEJALA SIFAR

Bermula Januari 2010, JAWI memulakan kempen untuk mengurangkan kes jenayah kesalahan syariah dan setakat ini sudah menunjukkan kesannya.

Menurut Che Mat, kes tangkapan berkurangan melalui dua strategi iaitu meningkatkan penguatkuasaan dan program dakwah.

"Pada penghujung 2009, pihak JAWI memperoleh peruntukan yang bagus daripada kerajaan persekutuan yang membolehkan kami antaranya menambah pegawai penguatkuasa.

"Pada masa ini kami ada 85 orang pegawai penguatkuasa berbanding hanya 27 orang sebelum ini. Dengan kekuatan ini, kami tingkatkan penguatkuasaan kepada daripada dua syif kepada tiga di Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur dan empat syif di Putrajaya," kata Che Mat.

Beliau mensasarkan dapat menurunkan kes jenayah kesalahan syariah di Kuala Lumpur kepada 8 peratus tahun ini berbanding 15 hingga 20 peratus sebelum ini.

"Di Putrajaya, sasaran kami untuk 2010 ialah sifar gejala sosial pada 2010. Kami memang boleh capai berdasarkan langkah penguatkuasaan 4 syif atau 24 jam yang kami buat sekarang," kata Che Mat sambil menegaskan bahawa beliau tidak akan sekali-kali membiarkan kesalahan jenayah syariah terus berleluasa. - BERNAMA


Read More